khotbah solat juma't
Minggu, 26 Agustus 2012
Saudara-Saudar kaum muslimin yang berbahagia.
Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah Robbul
‘Alamiin, sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada qudwah kita Muhammad
SAW. Tidak ada orang yang lebih beruntung kecuali orang-orang yang memperbaiki
ketaqwaannya kepada Sesembahan Alam – Allah SWT.
Tak terasa Ramadhan 1433H sudah merayap setengah bulan
berlalu. Di antara kita ada yang biasa-biasa saja melewatinya, namun hampir
pasti ada di antara kita telah mencicipi yang selalu rutin menghampiri kita tiap tahun.
Sungguh benar firman Allah SWT, bahwa “Demi masa – sungguh orang-orang itu
dalam keadaan merugi, kecuali bagi mereka yang beriman dan beramal sholeh”.
Harapan kita, kita termasuk di antara orang yang beruntung
dengan tambahnya amal sholeh dan bertambahnya iman kita di kesempatan Ramadhan
kali ini. Amin.
Juga di bulan Ramadhan 1433H kali ini, semoga kita tidak
terlena untuk tidak memanfaatkan kedatangannya dalam rangka menghapus dosa-dosa
dan menyimpan pundi-pundi pahala kita sebagai bekal di alam baqa. Seperti apa
yang telah disampaikan oleh Rasulullah, bahwa dari Jum’at ke Jum’at dan dari
Ramadhan ke Ramadhan sebetulnya adalah sarana penghapusan dosa-dosa kita.
Subhanallah, Maha Suci Allah SWT yang telah memberikan
kesempatan kepada kita mencuci bersih noktah-noktah yang melekat di diri kita.
Seandainya saja tidak ada kesempatan waktu dan cara yang disediakan oleh-Nya
bagaimana mungkin kita bisa ?
Mungkin kita akan menghadap kepada Allah dengan berlumuran dosa.
Sejujurnya, manusia selalu di antara dua jalan yang
dikodratkan oleh Allah SWT, yaitu jalan yang menuju hidayah-Nya (taqwa) dan
jalan yang menuju kepada tipu daya syaithan (fujuur). Dan memilih satu di
antara keduanya adalah hak dari masing-masing kita.
Sabda
Rasulullah SAW: ”Man qooma Romadhoona imaanan wahtisaaban ghufirolahu maa taqoddama min
dzanbihi”
Barang siapa yang mendirikan (menghidupkan) Ramadhan dengan keimanan dan
pengharapan, maka diampunkan dosa-dosanya yang telah lalu.
Abunawas
– semoga Allah SWT merahmatinya – adalah ulama yang memberikan pitutur kepada
kita bagaimana selayaknya kita memahami diri kita akan dosa-dosa yang telah
kita perbuat, melalui do’anya yang dibuat dalam sebuah sya’ir yang sangat bagus
di bawah ini.
Ilaahi lastu lil Firdausi ahlan ~ Walaa aqwaa ‘alannaaril Jahiimi
Ya Tuhan, aku tak layak masuk surgamu. Tapi aku tak sanggup masuk nerakamu.
Fahabli taubatan waghfir dzunuubi ~ Fainnaka ghofirudzan bil adziimi
Terimalah taubatku dan ampuni segala dosaku. Sesungguhnya Engkaulah pengampun dosa-dosa besar.
Dzunuubii mistlu a’daarir rimaali ~ Fahabli taubatan yaa Dzal Jalaali
Dosa-dosaku bagaikan butiran pasir di pantai. Terimalah taubatku Ya Tuhan Yang Maha Tinggi.
Wa’umrii naaqishun fikulli yaumi ~ Wa dzammbii zaa-idzun kaifah timaali
Dan usiaku yang berkurang setiap hari. Sementara dosa-dosaku bertambah setiap hari.
Ilaahi ‘abdukal ‘ashii aataaka ~ Muqirram bidzunuubi waqod da’aaka
Ya Tuhanku, hamba-Mu yang sering melakukan maksiat ini telah datang kepadamu. Yang senantiasa berbuat dosa, dan sesungguhnya telah berdoa kepadamu.
Fa in taghfir fa anta lidzaaka ahlun ~ Wan in tadrud faman narjuu siwaaka
Jika Kau beri ampunan, maka itu adalah hakmu. Dan jika Kau tinggalkan, maka siapa lagi yang hendak kami harapkan.
Banyak jalan bagaimana kita mendapatkan manisnya Ramadhan, salah satunya yaitu dengan menghidupkannya dengan memperbanyak men-tadarussi dan men-tadabburi Qur’an. Karena sesungguhnya Qur’an juga diturunkan di bulan yang mulia ini.
Cara lain menikmati manisnya Ramadhan yang datang setiap tahun adalah dengan cara memperbanyak istighfar dan muhasabah diri. Mengoptimalkan detik demi detik di setiap lorong waktu Ramadhan dengan memperbanyak amal shaleh istighfar dan menyadari kesalahan diri adalah cara termudah yang selalu dilakukan oleh para pendahulu kita. Membuang satu detik dari setiap kesempatan untuk berbuat baik di bulan Ramadhan sama dengan kita menyia-nyiakan nikmat terluhur yang pernah sampai kepada kita.
Akhirnya: Seluruh pilihan terletak di tangan kita, tidak ada JIKA atau TETAPI. Kitalah yang terpandai untuk memilihnya. Kitalah yang menyumbang terjadinya kehendak Allah SWT itu kepada kita dalam mencicipi manisnya Ramadhan tahun ini. Kita mendapatkannya atau kita melewatkannya begitu saja.
Semoga setengah bulan yang telah berlalu di bulan Ramadhan kali ini, kita mendapatkan manisnya. Dan mari berusaha untuk yang belum mendapatkannya.
Allaahu ghofuuru rohiim. Yaa Rabbiiyyy…
Ilaahi ‘abdukal ‘ashii aataaka ~ Muqirram bidzunuubi waqod da’aaka
Ya Tuhanku, hamba-Mu yang sering melakukan maksiat ini telah datang kepadamu. Yang senantiasa berbuat dosa, dan sesungguhnya telah berdoa kepadamu.
Fa in taghfir fa anta lidzaaka ahlun ~ Wan in tadrud faman narjuu siwaaka
Jika Kau beri ampunan, maka itu adalah hakmu. Dan jika Kau tinggalkan, maka siapa lagi yang hendak kami harapkan.
TENTANG KEISTIMEWAAN – KEISTIMEWAAN
BULAN RAMADHAN
Saudara-Saudar kaum muslimin
yang berbahagia.
Marilah kita selalu bertaqwa
kepada Allah Swt di dalam semua waktu kita dan senantiasa waspada diri tehadap
Allah Swt di dalam gerak dan Diam kita.
Keatahuilah! Bahwasanya Allah
Swt telah mengutamakan sebagian waktu melebihi yang lain dan menuliskan
sebagian hari dan malam yang lain dan menjadikanya sebagai dagangan yang
menguntungkan bagi HambaNya yang mukmin.
Itulah bulan kita bulan
Ramdhan, yang telah dimulaikan dan ddiutamakan olehNya. Di dalam bulan inilah
Al Qur’an di turunkan dan pada bulan ini pula manusia di wajibkan berpuasa.
Allah menjadikan bulan Ramadhan sebagai salah satu musim yang beasar dalam
pemberian kemaafan dan ampunan. Hal ini di buktikan dengan adanya hadist yang
diriwayatkan oleh imam nasa’i yang bersumber pada Abu Hurairah bahwansanya
Rasulullah bersabda:
Man Soma Romadhona inaman waktisaban ghuforolahu ma takodama mindan bihi
Artinya :
Barang sapa puasa Ramadhan dengan iman dan niat
karena Allah, maka dosa-dosanya yang telah lampau akan diampuni.
Sesungguha nya Allah Swt mewajibkan
puasa adalah untuk membersihkan jiwa dan sifat-sifat yang hina dan mengiasanya dengan sifat-sifat utama
serta menjauhkannya dari setiap pekerti yang tercela atau padang kejahatan yang
menyusahkan.
Saudara-Saudara kaum muslimin yang berbahagia, dengan sabar
seorang muslim dapat melindungi dirinya dari kelezatan-kelezatan dan
kesenangan-kesenangan yang di haramkan, ia menekankan nafsu nya untuk bersabar
melakukan amal-amal ketaatan.
Oleh karena itulah Al Qur’anul Karim
datang dengan berbicara kepada orang-orang mukmin, yaitu orang-orang yang
mensikapi perintah-perintah Allah dan Bergegas-bergegas melaksanakan amal
ketaatan kepadaNya. Karenaya Allah awt, berfirman di dalam surat Al Baqarah
ayat 183 seperti berikut:
Ya ayuhaladina amanu kutiba alaikum
siam kama kutiba alaldina mim koblikum la alakum tatakum
Artinya:
Diwajibkan atas kamu puasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.
Itulah sebagian
keistimewaan-keistimewaan bulan ramadhan
yang mulia di mana Rosulullah saw. Memberi kelonggaran kepada kita, karena
cintanya kepada kita dan dorongan yang mencari dan meraup pahala yang
sebanyak-banyak nya.
Saudara-saudara kaum muslimin yang
berbahagia .
Sesungguh nya kebanyakan dar kita
tidak menghormati dan memulikan bulan yang mulia ini, dan pula tidak
menghargainya dengan sungguh-sungguh . kebanyakan dari kita melewatkan siang
hari nya dengan tidur dan malas-malasan lupa akan dzikir kepada Allah dan
membaca Al Qur’an, di malam harinya pergi mencari kesenangan-kesenangan
warung-warung kopi menggrumuni tempat -tempat perjudian dan hiburan dan
berpaling dari amal ketaatan kepada Allah.
Apakah kita sudah merasa aman dari
siksa dan hukuman Allah? Apakah kita akan kekal di dalam kehidupan ini?
Sesungguhnya kematian setiap harinya merenggut jiwa manusia dan ajal nya .
setiap detik mendekatkan kita ke desa tempat pembalasan dan penyiksaan.
Berapakah kaum yang sudah berpindah
gedung-gedung mereka yang menjulang tinggi, dari kelezatan mereka yang di
banggakan dari kesenangan dan kegembiraan mereka yang melimpah ruah, kemudian
menuju ke alam kubur yang menyedihkan dan liang lahat gelap gulita
ZAKAT, MEMPERSEMPIT KESENJANGAN ANTARA SI KAYA DENGAN SI MISKIN
Jamaah
Jum'at yang Dirahmati Allah
Sudah terlalu sering kita mendengar seruan untuk memper-sempit jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin. Sudah lelah kita menerima selogan-selogan yang diusung oleh berbagai kala-ngan untuk melipat kesenjangan antara mereka yang berharta dan sanak saudara kita yang melarat. Kebijakan demi kebijakan terus bergulir atas nama kemanusiaan, dan undang-undang silih berganti ditetapkan atas nama kebijakan yang memihak rakyat kecil.
Tentu semua itu tidak sia-sia, akan tetapi sesungguhnya ma-salah yang paling besar yang selama ini telah menciptakan kesen-jangan antara orang yang memiliki modal dengan mereka yang hanya bertumpu pada nasib adalah sistem ekonomi riba.
Mari sejenak kita cermati masalah yang satu ini, semoga Allah memberikan pelajaran yang bermanfaat bagi kita semua.
Jamaah Jum'at yang Dirahmati Allah
Riba adalah sistem yang zhalim dan merusak. Riba inilah yang telah menyebabkan negeri-negeri Muslim selalu terkalahkan dalam sistem ekonomi dunia, dan menyebabkan kaum Muslimin selalu menjadi orang nomer dua dalam persaingan. Dan tentu akan sangat tidak memadai untuk menjelaskannya di sini dalam kapasitas khutbah yang memang disunnahkan untuk dipersingkat ini.
Gambaran mudahnya kira-kira sebagai berikut:
Semua kita tentu mengerti bahwa pada zaman dahulu, orang-orang melakukan transaksi jual beli dengan menukarkan barang dengan barang, yang kita kenal dalam istilah ekonomi dengan barter. Belakangan kemudian mulai muncul alat transaksi, berupa jenis-jenis tertentu dari logam dan batu mulia. Dan setelah itulah, kemudian emas dan perak menjadi alat transaksi yang paling dikenal sebagai alat transaksi oleh hampir semua bangsa di dunia, termasuk di zaman Rasulullah a yang saat itu dikenal dengan dinar dan dirham.
Akan tetapi berbelanja dalam jumlah yang besar menjadi ken-dala dari alat transaksi emas dan perak ini, karena membawanya ke sana kemari dalam jumlah besar adalah masalah besar. Di sini-lah awal munculnya ide menggunakan uang kertas; ialah dengan menyimpan uang emas dan diterbitkanlah uang kertas yang pada mulanya hanya berfungsi sebagai semacam kuitansi bergambar rumit, sebagai bukti bahwa si fulan memiliki emas berjumlah sekian. Tapi di belakang hari, uang kertas itu sendiri disahkan sebagai harta yang tidak lagi memiliki hubungan dengan nilai riil, yaitu emas. Lebih parah lagi kemudian bahwa antara satu mata uang dengan mata uang lainnya, tidak lagi berlaku satu banding satu, akan tetapi ditentukan oleh lingkaran setan riba yang zhalim. Kalau kita seder-hanakan, orang-orang yang paling malas sekalipun dapat menjadi orang kaya raya dengan jual beli mata uang secara haram, tanpa harus bekerja keras menciptakan hasil kerja riil atau pun jasa; di mana di pagi hari hanya butuh menghidupkan komputer lalu me-masuki alam maya, cyber global dan berjudi dengan hanya mempertaruhkan sesuatu yang hakikatnya tidak ada.
Yang sangat mengerikan adalah bahwa sistem keuangan ribawi ini telah menjadi kekuasaan bayangan yang sangat kejam, sehingga dapat mempengaruhi sistem politik, mengendalikan ke-bijakan suatu pemerintahan, dan yang paling menyakitkan adalah semakin memiskinkan orang-orang miskin.
Coba mari kita kenang kembali ketika tahun 1997 mata uang rupiah jatuh terhadap dolar Amerika, dalam prosentase yang sangat besar. Sebelum itu orang-orang yang berpenghasilan Rp. 500.000-, sudah termasuk kelas ekonomi cukup mapan saat itu, tapi dalam waktu sekejap menjadi orang-orang yang jauh dari cukup. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang secara ekonomi di bawah itu? Harga barang langsung melonjak tak terkendali. Sekian juta masyarakat Indonesia tiba-tiba jatuh miskin, bukan karena mereka terbelakang, bukan karena mereka berhenti bekerja, bukan karena malas; tapi karena dimiskinkan oleh sistem. Para petani tetap ber-tani, pada pedagang terus berdagang, para karyawan negeri atau swasta tidak berhenti bekerja; tapi hasil kerja keras mereka yang seharusnya cukup, menjadi anjlok tak punya nilai dalam sekejap, dan itu berlangsung dalam waktu yang cukup lama, sampai per-ekonomian kembali stabil. Inilah gambaran sederhana dari kezha-liman sistem ribawi.
Karena itu, adalah naif jika ada di antara pemikir kaum Muslimin yang mengatakan bahwa apabila dalam prosentase kecil, maka riba itu tidak apa-apa dan dapat dianggap sebagai biaya operasi transksi. Atau ada lagi yang mengatakan, bahwa riba yang diharam-kan al-Qur`an adalah yang merugikan salah satu pihak, tapi apa-bila masing-masing pihak mendapat keuntungan, maka itu adalah riba yang boleh-boleh saja. Ini adalah asumsi batil yang rapuh yang sama sekali tidak didasari oleh semangat syariat Islam, yang menye-barkan keadilan untuk setiap individu, dan bertentangan dengan ruh ar-Risalah al-Muhammadiyah untuk menciptakan suatu orde sosial yang saling menguntungkan antara semua komponen.
Masalahnya, riba tidak hanya terbatas antara seorang dengan seorang, atau antara sebuah bank dengan sejumlah nasabah, atau antara sejumlah PT dengan sebuah perbankan, sebagaimana yang dibayangkan oleh mereka yang membenarkan riba tersebut. Yang menjadi masalah adalah bahwa sistem riba ini merugikan penghi-dupan banyak orang, yang sebenarnya sama sekali tidak terlibat dalam mewujudkannya, menzhalimi masyarakat luas, dan mendatangkan perekonomian yang tidak mendatangkan berkah Allah.
Karenanya, setelah isyarat itu tadi, pada ayat 281 Allah Ta’ala mempertegas peringatanNya. FirmanNya,
"Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dizhalimi (dirugikan)."
Jamaah Jum'at yang Dirahmati Allah
Sebelum kedua ayat di atas, Allah Ta’ala merinci tentang riba dan orang yang mengambil riba. Coba mari kita lebih perhatikan apa kata al-Qur`an sebelum kedua ayat di atas.
Allah Ta’ala berfirman,
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), 'Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kem-bali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (QS. al-Baqarah: 275).
Dalam kitab al-Kaba`ir Imam al-Hafizh adz-Dzahabi mengomentari ayat "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila', dengan mengatakan, "Maksudnya, mereka (yang memakan riba tersebut) akan bangun dari kubur-kubur me-reka pada Hari Kiamat seperti orang-orang yang kesurupan dan kerasukan setan. Dan itu menimpa mereka "Adalah disebabkan me-reka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba."
Riba sama dengan jual beli? Sungguh perkataan yang sangat keji dan kias yang tidak saja rusak tapi juga merusak.
Asy-Syaikh al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengomentari perkataan mereka yang menyamakan riba dengan jual beli ini dalam syarah beliau terhadap al-Kaba`ir, dengan menga-takan, "Kias mereka ini adalah persis seperti kias iblis ketika Allah memerintahkannya untuk bersujud kepada Nabi Adam j, iblis berkata, sebagaimana yang diabadikan Allah; agar dapat diambil
Sudah terlalu sering kita mendengar seruan untuk memper-sempit jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin. Sudah lelah kita menerima selogan-selogan yang diusung oleh berbagai kala-ngan untuk melipat kesenjangan antara mereka yang berharta dan sanak saudara kita yang melarat. Kebijakan demi kebijakan terus bergulir atas nama kemanusiaan, dan undang-undang silih berganti ditetapkan atas nama kebijakan yang memihak rakyat kecil.
Tentu semua itu tidak sia-sia, akan tetapi sesungguhnya ma-salah yang paling besar yang selama ini telah menciptakan kesen-jangan antara orang yang memiliki modal dengan mereka yang hanya bertumpu pada nasib adalah sistem ekonomi riba.
Mari sejenak kita cermati masalah yang satu ini, semoga Allah memberikan pelajaran yang bermanfaat bagi kita semua.
Jamaah Jum'at yang Dirahmati Allah
Riba adalah sistem yang zhalim dan merusak. Riba inilah yang telah menyebabkan negeri-negeri Muslim selalu terkalahkan dalam sistem ekonomi dunia, dan menyebabkan kaum Muslimin selalu menjadi orang nomer dua dalam persaingan. Dan tentu akan sangat tidak memadai untuk menjelaskannya di sini dalam kapasitas khutbah yang memang disunnahkan untuk dipersingkat ini.
Gambaran mudahnya kira-kira sebagai berikut:
Semua kita tentu mengerti bahwa pada zaman dahulu, orang-orang melakukan transaksi jual beli dengan menukarkan barang dengan barang, yang kita kenal dalam istilah ekonomi dengan barter. Belakangan kemudian mulai muncul alat transaksi, berupa jenis-jenis tertentu dari logam dan batu mulia. Dan setelah itulah, kemudian emas dan perak menjadi alat transaksi yang paling dikenal sebagai alat transaksi oleh hampir semua bangsa di dunia, termasuk di zaman Rasulullah a yang saat itu dikenal dengan dinar dan dirham.
Akan tetapi berbelanja dalam jumlah yang besar menjadi ken-dala dari alat transaksi emas dan perak ini, karena membawanya ke sana kemari dalam jumlah besar adalah masalah besar. Di sini-lah awal munculnya ide menggunakan uang kertas; ialah dengan menyimpan uang emas dan diterbitkanlah uang kertas yang pada mulanya hanya berfungsi sebagai semacam kuitansi bergambar rumit, sebagai bukti bahwa si fulan memiliki emas berjumlah sekian. Tapi di belakang hari, uang kertas itu sendiri disahkan sebagai harta yang tidak lagi memiliki hubungan dengan nilai riil, yaitu emas. Lebih parah lagi kemudian bahwa antara satu mata uang dengan mata uang lainnya, tidak lagi berlaku satu banding satu, akan tetapi ditentukan oleh lingkaran setan riba yang zhalim. Kalau kita seder-hanakan, orang-orang yang paling malas sekalipun dapat menjadi orang kaya raya dengan jual beli mata uang secara haram, tanpa harus bekerja keras menciptakan hasil kerja riil atau pun jasa; di mana di pagi hari hanya butuh menghidupkan komputer lalu me-masuki alam maya, cyber global dan berjudi dengan hanya mempertaruhkan sesuatu yang hakikatnya tidak ada.
Yang sangat mengerikan adalah bahwa sistem keuangan ribawi ini telah menjadi kekuasaan bayangan yang sangat kejam, sehingga dapat mempengaruhi sistem politik, mengendalikan ke-bijakan suatu pemerintahan, dan yang paling menyakitkan adalah semakin memiskinkan orang-orang miskin.
Coba mari kita kenang kembali ketika tahun 1997 mata uang rupiah jatuh terhadap dolar Amerika, dalam prosentase yang sangat besar. Sebelum itu orang-orang yang berpenghasilan Rp. 500.000-, sudah termasuk kelas ekonomi cukup mapan saat itu, tapi dalam waktu sekejap menjadi orang-orang yang jauh dari cukup. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang secara ekonomi di bawah itu? Harga barang langsung melonjak tak terkendali. Sekian juta masyarakat Indonesia tiba-tiba jatuh miskin, bukan karena mereka terbelakang, bukan karena mereka berhenti bekerja, bukan karena malas; tapi karena dimiskinkan oleh sistem. Para petani tetap ber-tani, pada pedagang terus berdagang, para karyawan negeri atau swasta tidak berhenti bekerja; tapi hasil kerja keras mereka yang seharusnya cukup, menjadi anjlok tak punya nilai dalam sekejap, dan itu berlangsung dalam waktu yang cukup lama, sampai per-ekonomian kembali stabil. Inilah gambaran sederhana dari kezha-liman sistem ribawi.
Karena itu, adalah naif jika ada di antara pemikir kaum Muslimin yang mengatakan bahwa apabila dalam prosentase kecil, maka riba itu tidak apa-apa dan dapat dianggap sebagai biaya operasi transksi. Atau ada lagi yang mengatakan, bahwa riba yang diharam-kan al-Qur`an adalah yang merugikan salah satu pihak, tapi apa-bila masing-masing pihak mendapat keuntungan, maka itu adalah riba yang boleh-boleh saja. Ini adalah asumsi batil yang rapuh yang sama sekali tidak didasari oleh semangat syariat Islam, yang menye-barkan keadilan untuk setiap individu, dan bertentangan dengan ruh ar-Risalah al-Muhammadiyah untuk menciptakan suatu orde sosial yang saling menguntungkan antara semua komponen.
Masalahnya, riba tidak hanya terbatas antara seorang dengan seorang, atau antara sebuah bank dengan sejumlah nasabah, atau antara sejumlah PT dengan sebuah perbankan, sebagaimana yang dibayangkan oleh mereka yang membenarkan riba tersebut. Yang menjadi masalah adalah bahwa sistem riba ini merugikan penghi-dupan banyak orang, yang sebenarnya sama sekali tidak terlibat dalam mewujudkannya, menzhalimi masyarakat luas, dan mendatangkan perekonomian yang tidak mendatangkan berkah Allah.
Karenanya, setelah isyarat itu tadi, pada ayat 281 Allah Ta’ala mempertegas peringatanNya. FirmanNya,
"Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dizhalimi (dirugikan)."
Jamaah Jum'at yang Dirahmati Allah
Sebelum kedua ayat di atas, Allah Ta’ala merinci tentang riba dan orang yang mengambil riba. Coba mari kita lebih perhatikan apa kata al-Qur`an sebelum kedua ayat di atas.
Allah Ta’ala berfirman,
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), 'Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kem-bali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (QS. al-Baqarah: 275).
Dalam kitab al-Kaba`ir Imam al-Hafizh adz-Dzahabi mengomentari ayat "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila', dengan mengatakan, "Maksudnya, mereka (yang memakan riba tersebut) akan bangun dari kubur-kubur me-reka pada Hari Kiamat seperti orang-orang yang kesurupan dan kerasukan setan. Dan itu menimpa mereka "Adalah disebabkan me-reka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba."
Riba sama dengan jual beli? Sungguh perkataan yang sangat keji dan kias yang tidak saja rusak tapi juga merusak.
Asy-Syaikh al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengomentari perkataan mereka yang menyamakan riba dengan jual beli ini dalam syarah beliau terhadap al-Kaba`ir, dengan menga-takan, "Kias mereka ini adalah persis seperti kias iblis ketika Allah memerintahkannya untuk bersujud kepada Nabi Adam j, iblis berkata, sebagaimana yang diabadikan Allah; agar dapat diambil

0 komentar: